Kerajaan-kerajaan Bercorak
Hindu Budha di Indonesia
Masuknya
Agama Hindu dan Budha ke Indonesia
Agama Hindu
dan Budha berasal dari India. Kedua agama tersebut masuk dan dianut oleh
penduduk di berbgai wilayah nusantara pada waktu yang hampir bersamaan, sekitar
abad ke empat, bersamaan dengan mulai berkembangnya hubungan dagang antara
Indonesia dengan India dan Cina. Sebelum pengaruh Hindu dan Budha masuk ke
Indonesia, diperkirakan penduduk Indonesia menganut kepercayaan dinamisme dan
animisme.
Agama Budha
disebarluaskan ke Indonesia oleh para bhiksu, sedangkan mengenai pembawa agama
Hindu ke Indonesia terdapat 4 teori sebagai berikut :
- Teori
ksatria (masuknya agama Hindu disebarkan oleh para ksatria)
- Teori
waisya (masuknya agama Hindu disebarkan oleh para pedagang yang berkasta
waisya)
- Teori
brahmana (masuknya agama Hindu disebarkan oleh para brahmana)
- Teori
campuran (masuknya agama Hindu disebarkan oleh ksatria, brahmana, maupun
waisya)
Bukti tertua
adanya pengaruh India di Indonesia adalah ditemukannya Arca Budha dari perunggu
di Sempaga, Sulawesi Selatan. Antara abad ke 4 hingga abad ke 16 di berbagai
wilayah nusantara berdiri berbagai kerajaan yang bercorak agama Hindu dan
Budha. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain:
A.
Kerajaan Kutai
|
Prasasti
Yupa (Sumber:http:wikipwdia.org)
|
|
Kerajaan
Kutai atau Kerajaan Kutai Martadipura (Martapura) merupakan kerajaan Hindu yang
berdiri sekitar abad ke-4 Masehi di Muara Kaman, Kalimantan Timur. Diperkirakan
kerajaan kutai merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan ini
dibangun oleh Kudungga. Diduga ia belum menganut agama Hindu.
Peninggalan
terpenting kerajaan Kutai adalah 7 Prasasti Yupa, dengan huruf Pallawa dan
bahasa Sansekerta, dari abad ke-4 Masehi. Salah satu Yupa mengatakan bahwa
“Maharaja Kundunga mempunyai seorang putra bernama Aswawarman yang disamakan
dengan Ansuman (Dewa Matahari). Aswawarman mempunyai tiga orang putra. yang
paling terkemuka adalah Mulawarman.” Salah satu prasastinya juga menyebut kata
Waprakeswara yaitu tempat pemujaan terhadap Dewa Syiwa.
B. Kerajaan
Tarumanegara
Kerajaan
Tarumanegera di Jawa Barat hampir bersamaan waktunya dengan Kerajaan Kutai.
Kerajaan Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun
358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382 – 395).
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanegara yang ketiga (395 – 434 M).
Menurut Prasasti Tugu pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati
dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km).
Dari
kerajaan Tarumanegara ditemukan sebanyak 7 buah prasasti. Lima diantaranya
ditemukan di daerah Bogor. Satu ditemukan di desa Tugu, Bekasi dan satu lagi
ditemukan di desa Lebak, Banten Selatan. Prasasti-prasasti yang merupakan
sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Prasasti Kebon Kopi,
2.
Prasasti Tugu,
3.
Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiang,
4.
Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5.
Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6.
Prasasti Jambu, Bogor
7.
Prasasti Pasir Awi, Bogor.
C.
Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya
merupakan kerajaan yang bercorak agama Budha. Raja yang pertamanya bernama Sri
Jaya Naga, sedangkan raja yang paling terkenal adalah Raja Bala Putra Dewa.
Letaknya
yang strategis di Selat Malaka (Palembang) yang merupakan jalur pelayaran dan
perdagangan internasional.Keadaan alam Pulau Sumatera dan sekitarnya pada abad
ke-7 berbeda dengan keadaan sekarang. Sebagian besar pantai timur baru
terbentuk kemudian. Oleh karena itu Pulau Sumatera lebih sempit bila
dibandingkan dengan sekarang, sebaliknya Selat Malaka lebih lebar dan panjang.
Beberapa faktor yang mendorong perkembangan kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan
besar antara lain sebagai berikut :
- Kemajuan
kegiatan perdagangan antara India dan Cina melintasi selat Malaka,
sehingga membawa keuntungan yang besar bagi Sriwijaya.
- Keruntuhan
Kerajaan Funan di Vietnam Selatan akibat serangan kerajaan Kamboja
memberikan kesempatan bagi perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim
(sarwajala) yang selama abad ke-6 dipegang oleh kerajaan Funan.
Berdasarkan
berita dari I Tsing ini dapat kita ketahui bahwa selama tahun 690 sampai 692,
Kerajaan Melayu sudah dikuasai oleh Sriwijaya. Sekitar tahun 690 Sriwijaya
telah meluaskan wilayahnya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
Hal ini juga diperkuat oleh 5 buah prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang
kesemuanya ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
Prasasti-prasasti tersebut adalah sebagai beikut :
1.
Prasasti Kedukan Bukit
2.
Prasasti Talang Tuwo
3.
Prasasti Kota Kapur
4.
Prasasti Telaga Batu
5.
Prasasti Karang Birahi
6.
Prasasti Ligor
Selain
peninggalan berupa prasasti, terdapat peninggalan berupa candi. Candi-candi
budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi,
Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal, akan tetapi tidak seperti candi periode
Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata
merah.
Beberapa
arca-arca bersifat budhisme, seperti berbagai arca budha dan bodhisatwa Awalokiteswara
ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya.
Pada masa
pemerintahan Bala Putra Dewa Sriwijaya menjadi pusat perdagangan sekaligus
pusat pengajaran agama Budha. Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana,
Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia.
Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera
dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan
695. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha
sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke
pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut
berkembang di Sriwijaya.
Letak
Sriwijaya strategis membawa keberuntungan dan kemakmuran. Walaupun demikian,
letaknya yang strategis juga dapat mengundang bangsa lain menyerang Sriwijaya.
Beberapa faktor penyebab kemunduran dan keruntuhan :
- Adanya
serangan dari Raja Dharmawangsa 990 M.
- Adanya
serangan dari kerajaan Cola Mandala yang diperintah oleh Raja
Rajendracoladewa.
- Pengiriman
ekspedisi Pamalayu atas perintah Raja Kertanegara, 1275 – 1292.
- Muncul
dan berkembangnya kerajaan Islam Samudra Pasai.
- Adanya
serangan kerajaan Majapahit dipimpin Adityawarman atas perintah Mahapatih
Gajah Mada, 1477. Sehingga Sriwijaya menjadi taklukkan Majapahit.
D.
Kerajaan Mataram ( Hindu-Budha )
Kerajaan
Mataram diketahui dari Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi yang
ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu
disebutkan bahwa pada mulanya Jawa (Yawadwipa) diperintah oleh Raja Sanna.
Setelah ia wafat Sanjaya naik tahta sebagai penggantinya. Sanjaya adalah putra
Sannaha (saudara perempuan Sanna).
Prasasti
Mantyasih (Prasasti Kedu) yang di dikeluarkan oleh Raja Balitung pada
tahun 907 memuat daftar raja-raja keturunan Sanjaya, sebagai berikut :
1. Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya
2. Sri
Maharaja Rakai Panangkaran
3. Sri
Maharaja Rakai Panunggalan
4. Sri
Maharaja Rakai Warak
5. Sri
Maharaja Rakai Garung
6. Sri
Maharaja Rakai Pikatan
7. Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi
8. Sri
Maharaja Rakai Watuhumalang
9. Sri
Maharaja Watukura Dyah Balitung
Prasasti
Kelurak, 782 M di desa Kelurak disebutkan bahwa Raja Dharanindra membangun arca
Majusri ( candi sewu). Pengganti raja Dharanindra, adalah Samaratungga.
Samaratungga digantikan oleh putrinya bernama Pramodawardhani. Dalam Prasasti
Sri Kahulunan ( gelar Pramodawardhani) berangka tahun 842 M di daerah Kedu,
dinyatakan bahwa Sri Kahulunan meresmikan pemberian tanah untuk pemeliharaan
candi Borobudur yang sudah dibangun sejak masa pemerintahan Samaratungga.
Pramodhawardhani
menikah dengan Rakai Pikatan yang beragama Hindu. Adik Pramodhawardhani,
Balaputradewa menentang pernikahan itu. Pada tahun 856 Balaputradewa
berusaha merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, namun usahanya itu gagal.
Setelah pemerintahan Rakai Pikatan, Mataram menunjukkan kemunduran. Sejak
pemerintahan Raja Balitung banyak mengalihkan perhatian ke wilayah Jawa Timur.
Raja-raja setelah Balitung adalah :
Daksa (910 –
919). Ia telah menjadi rakryan mahamantri I hino (jabatan terttinggi sesudah
raja) pada masa pemerintahan Balitung.
- Rakai
Layang Dyah Tulodong (919 – 924)
- Wawa
yang bergelar Sri Wijayalokanamottungga (924 – 929)
- Wawa
merupakan raja terakhir kerajaan Mataram. Pusat kerajaan kemudian
dipindahkan oleh seorang mahapatihnya (Mahamantri I hino) bernama Pu
Sindok ke Jawa Timur.
Kepindahan Kerajaan Mataram ke Jawa
Timur
Pu Sindok
yang menjabat sebagai mahamantri i hino pada masa pemerintahan Raja Wawa
memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur tersebut. Pada tahun 929 M, Pu
Sindok naik tahta dengan gelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana
Wikramadharmattunggadewa. la mendirikan dinasti baru, yaitu Dinasti Isana. Pu
Sindok memerintah sampai dengan tahun 947. Pengganti-penggantinya dapat
diketahui dari prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga, yaitu Prasasti
Calcuta.
Berdasarkan
berita Cina diperoleh keterangan bahwa Raja Dharmawangsa pada tahun 990 – 992 M
melakukan serangan terhadap Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1016, Airlangga
datang ke Pulau Jawa untuk meminang putri Dharmawangsa. Namun pada saat upacara
pernikahan berlangsung kerajaan mendapat serangan dari Wurawuri dari Lwaram yang
bekerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya. Peristiwa ini disebut peristiwa Pralaya.
Selama dalam pengassingan ia menyusun kekuatan. Setelah berhasil menaklukkan
raja Wurawari pada tahun 1032 dan mengalahkan Raja Wijaya dari Wengker Pada
tahun 1035 ia berhasil mengembalikan kekuasaan. Airlangga wafat pada tahun 1049
dan disemayamkan di Parthirtan Belahan, di lereng gunung Penanggungan.
E.
Kerajaan Kediri/Kadiri
Pada akhir
pemerintahannya Airlangga kesulitan dalam menunjuk penggantinya, sebab Putri
Mahkotanya bernama Sanggramawijaya menolak menggantikan menjadi raja. la
memilih menjadi seorang pertapa. Maka tahta diserahkan kepada kedua orang anak
laki-lakinya, yaitu Jayengrana dan Jayawarsa. Untuk menghindari perselisihan di
antara keduanya maka kerajaan di bagi dua atas bantuan Pu Barada yaitu Jenggala
dengan ibukotanya Kahuripan dan Panjalu dengan ibukotanya Daha (Kadiri)
Sampai
setengah abad lebih sejak Airlangga mengundurkan diri tidak ada yang dapat
diketahui dari kedua kerajaan itu. Kemudian hanya Kadiri yang menunjukkan
aktifitas politiknya. Raja pertama yang muncul dalam pentas sejarah adalah Sri
Jayawarsa dengan prasastinya yang berangka tahun 1104 M. Selanjutnya
berturut-turut raja-raja yang berkuasa di Kadiri adalah sebagai berikut :
Kameswara (±1115 – 1130), Jayabaya (±1130 – 1160), 1135), Sarweswara (±1160 –
1170), Aryyeswara (±1170 – 1180), Gandra (1181), Srengga (1190-1200) dan
Kertajaya (1200 – 1222).
Pada tahun
1222 terjadilah Perang Ganter antara Ken arok dengan Kertajaya. Ken Arok dengan
bantuan para Brahmana (pendeta) berhasil mengalahkan Kertajaya di Ganter
(Pujon, Malang).
F.
Kerajaan Singasari
Kerajaan
Singasari didirikan oleh Ken Arok. Dalam kitab Pararaton Ken Arok digambarkan
sebagai seorang pencuri dan perampok yang sakti, sehingga menjadi buronan
tentara Tumapel. Setelah mendapatkan bantuan dari seorang Brahmana, Ken Arok
dapat mengabdi kepada Akuwu (bupati) di Tumapel bernama Tunggul Ametung.
Setelah berhasil membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok menggantikannya sebagai
penguasa Tumapel. Ia juga menjadikan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung, sebagai
permaisurinya. Pada waktu itu Tumapel masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Kadiri.
Setelah
merasa memiliki kekuatan yang cukup, Ken Arok berusaha untuk melepaskan diri
dari Kadiri. Pada tahun 1222 Ken Arok berhasil membunuh Kertajaya, raja Kadiri
terakhir. Ia kemudian naik tahta sebagai raja Singasari dan mendirikan
dinasti baru yaitu Dinasti Girinda.
Tidak lama
kemudian, Ken Dedes melahirkan seorang putra bernama Anusapati hasil pernikahannya
dengan Tunggul Ametung. Sedangkan dari istri yang lain, yaitu Ken Umang, Ken
Arok mempunyai seorang putra bernama Tohjaya. Pada tahun 1227, Ken Arok dibunuh
oleh
Anusapati.
Hal ini dilakukan sebagai balas dendam atas kematian ayahnya, Tunggul Ametung. Anusapati
mengantikan berkuasa di Singasari. Ia memerintah selama 21 tahun. Sampai
akhirnya ia dibunuh oleh Tohjaya, juga sebagai balas dendam atas kematian
ayahnya.
Tohjaya naik
tahta. Ia memerintah dalam waktu sangat singkat. Ia kemudian terbunuh oleh Ranggawuni
(putra Anusapati). Pada tahun 1248 Ranggawuni naik tahta dengan gelar Srijaya
Wisnuwardhana. Pada tahun 1254 Wisnuwardhana mengangkat putranya Kertanegara
sebagai Yuwaraja atau Raja Muda. Wisnuwardana wafat pada tahun 1268 di
Mandragiri.
Pada tahun
1268 Kertanegara naik tahta. la merupakan raja terbesar kerajaan Singasari.
Kertanegara merupakan raja pertama yang bercita-cita menyatukan Nusantara. Pada
tahun 1275, Kertanegara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera (Jambi)
dipimpin oleh Kebo Anabrang. Ekspedisi ini bertujuan menuntut pengakuan
Sriwijaya dan Malayu atas kekuasaan Singasari. Ekspedisi ini juga untuk
mengurangi pengaruh Kubilai Khan dari Cina di Nusantara.
Ekspedisi
ini menimbulkan rasa khawatir raja Mongol tersebut. Oleh karena itu pada tahun
1289 Kubilai Khan mengirimkan utusan bernama Meng-chi menuntut Singasari
mengakui kekuasaan Kekaisaran Mongol atas Singasari. Kertanegara menolak tegas,
bahkan utusan Cina itu dilukai mukanya. Perlakukan tersebut dianggap sebagai
penghinaan dan tantangan perang.
Untuk
menghadapi kemungkinan serangan dari tentara Mongol pasukan Singasari
disiagakan dan dikirim ke berbagai daerah di Laut Jawa dan di Laut Cina
Selatan. Sehingga pertahanan di ibukota lemah. Hal ini dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang tidak senang terhadap Kertanegara, diantaranya Jayakatwang
penguasa Kadiri dan Arya Wiraraja (bupati Madura). Pasukan Kadiri berhasil
menduduki istana dan membunuh Kertanegara.
G.
Kerajaan Majapahit
Setelah
Kertanegara terbunuh oleh Jayakatwang, 1292. Raden Wijaya menantu Kertanegara
berhasil melarikan diri ke Madura untuk minta bantuan Arya Wiraraja, bupati
Sumenep. Atas nasihat Arya Wiraraja, Raden Wijaya menyerahkan diri kepada
Jayakatwang. Atas jaminan dari Arya Wiraraja, Raden Wijaya diterima dan diperbolehkan
membuka hutan Tarik yang terletak di dekat Sungai Brantas. Dengan bantuan
orang-orang Madura, pembukaan hutan Tarik dibuka dan diberi nama Majapahit.
Kemudian
datanglah pasukan Tartar yang dikirim Kaisar Kubilai Khan untuk menghukum raja
Jawa. Walaupun sudah mengetahui Kertanegara sudah meninggal, tentara Tartar
bersikeras mau menghukum raja Jawa. Hal ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya
untuk membalas dendam kepada Jayakatwang. Jayakatwang berhasil dihancurkan.
Pada waktu tentara Tartar hendak kembali kepelabuhan, Raden Wijaya
menghancurkan tentaraTartar, Setelah berhasil mengusir tentara Tartar, Raden
Wijaya dinobatkan sebagai Raja Majapahit dengan gelar Sri Kertarajasa
Jayawardhana pada tahun 1293.
Kertarajasa
meninggal pada tahun 1309. Satu-satunya putra yang dapat menggantikannya adalah
Kalagamet. la dinobatkan sebagai raja Majapahit dengan gelar Sri Jayanagara. Ia
bukanlah raja yang cakap. Selain itu ia juga mendapatkan banyak pengaruh dari
Mahapati. Akibatnya masa pemerintahannya diwarnai dengan adanya beberapa kali
pemberontakan.
Pemberontakan
yang paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti, pada tahun 1319. Kuti berhasil
menduduki ibukota Majapahit, sehingga Jayanagara harus melarikan diri ke desa
Bedander yang dikawal oleh pasukan Bhayangkari dipimpin oleh Gajah Mada.
Pemberontakan Kuti ini berhasil ditumpas oleh Gajah Mada. Karena jasanya Gajah
Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan. Pada tahun 1328 Jayanagara mangkat
dibunuh oleh tabib istana, Tanca. Tanca kemudian dibunuh oleh Gajah Mada. Jayanagara
tidak meninggalkan keturunan.
Karena
Jayanagara tidak mempunyai keturunan, maka yang berhak memerintah semestinya
adalah Gayatri atau Rajapatni. Akan tetapi Gayatri telah menjadi bhiksuni. Maka
pemerintahan Majapahit kemudian dipegang oleh putrinya Bhre Kahuripan dengan
gelar Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani. la menikah dengan Kertawardhana.
Dari perkawinan ini lahirlah Hayam Wuruk. Pada tahun 1331 terjadi pemberontakan
Sadeng dan Keta. Pemberontakan yang berbahaya ini dapat ditumpas oleh Gajah
Mada. Karena jasanya Gajah Mada diangkat sebagai Patih Mangkubumi Majapahit.
Pada saat pelantikan, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Pada tahun
1350 M, lbu Tribhuwanatunggadewi, Gayatri meninggal. Sehingga Tribhuwana turun
tahta. Penggantinya adalah putranya yang bernama Hayam Wuruk yang bergelar
Rajasanagara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada sebagai
Mahapatihnya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Dengan Sumpah Palapa-nya
Gajah Mada berhasil menguasai seluruh kepulauan Nusantara ditambah dengan Siam,
Martaban (Birma), Ligor, Annom, Campa dan Kamboja.
Pada tahun
1364, Patih Gajah Mada wafat ditempat peristirahatannya, Madakaripura, di
lereng Gunung Tengger. Setelah Gajah Mada meninggal, Hayam Wuruk menemui
kesulitan untuk menunjuk penggantinya. Akhirnya diputuskan bahwa pengganti
Gajah Mada adalah empat orang menteri.
Hayam Wuruk
wafat pada tahun 1389. Ia disemayamkan di Tayung daerah Berbek, Kediri.
Seharusnya yang menggantikan adalah puterinya yang bernama Kusumawardhani. Namun
ia menyerahkan kekuasaannya kepada suaminya, Wikramawardhana. Sementara itu
Hayam Wuruk juga mempunyai anak laki-laki dari selir yang bernama Bhre
Wirabhumi yang telah mendapatkan wilayah keuasaan di Kedaton Wetan (Ujung Jawa
Timur). Pada tahun 1401 hubungan Wikramawardhana dengan Wirabhumi berubah
mejadi perang saudara yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Pada tahun 1406
Wirabhumi dapat dikalahkan di dibunuh. Tentu saja perang saudara ini melemahkan
kekuasaan Majapahit. Sehingga banyak wilayah-wilayah kekuasaannya melepaskan
diri.
1.
Sejarah Kerajaan Kutai
Kutai adalah salah satu kerajaan tertua di Indonesia, diperkirakan muncul
pada abad 5 M atau ± 400 M, keberadaan kerajaan tersebut diketahui berdasarkan
sumber berita yang ditemukan yaitu berupa prasasti yang berbentuk yupa/tiang
batu berjumlah 7 buah.
Yupa dari Kutai
Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa sansekerta tersebut, dapat
disimpulkan tentang keberadaan Kerajaan Kutai dalam berbagai aspek kebudayaan,
antara lain politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Kehidupan Politik
Dalam kehidupan politik seperti yang dijelaskan dalam yupa bahwa raja terbesar
Kutai adalah Mulawarman, putra Aswawarman dan Aswawarman adalah putra Kudungga.
Dalam yupa juga dijelaskan bahwa Aswawarman disebut sebagai Dewa
Ansuman/Dewa Matahari dan dipandang sebagai Wangsakerta atau pendiri keluarga
raja. Hal ini berarti Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang
sebagai pendiri keluarga atau dinasti dalam agama Hindu. Untuk itu para ahli
berpendapat Kudungga masih nama Indonesia asli dan masih sebagai kepala suku,
yang menurunkan raja-raja Kutai.
Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis/erat antara Raja
Mulawarman dengan kaum Brahmana, seperti yang dijelaskan dalam yupa, bahwa raja
Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana di dalam tanah
yang suci bernama Waprakeswara. Istilah Waprakeswara–tempat suci untuk memuja
Dewa Siwa–di pulau Jawa disebut Baprakewara.
Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan
Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari
cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang
datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.
Aswawarman
Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu.
Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar
Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang
putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa
pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai
hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya
komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.
Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia
tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran
Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda
dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di
Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang
disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya
menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
Nama-Nama Raja Kutai
Peta Kecamatan Muara Kaman
- Maharaja
Kundungga, gelar anumerta Dewawarman
- Maharaja
Asmawarman (anak Kundungga)
- Maharaja
Mulawarman
- Maharaja
Marawijaya Warman
- Maharaja
Gajayana Warman
- Maharaja
Tungga Warman
- Maharaja
Jayanaga Warman
- Maharaja
Nalasinga Warman
- Maharaja
Nala Parana Tungga
- Maharaja
Gadingga Warman Dewa
- Maharaja
Indra Warman Dewa
- Maharaja
Sangga Warman Dewa
- Maharaja
Candrawarman
- Maharaja
Sri Langka Dewa
- Maharaja
Guna Parana Dewa
- Maharaja
Wijaya Warman
- Maharaja
Sri Aji Dewa
- Maharaja
Mulia Putera
- Maharaja
Nala Pandita
- Maharaja
Indra Paruta Dewa
- Maharaja
Dharma Setia
Kehidupan Ekonomi
Kehidupan ekonomi di Kutai, tidak diketahui secara pasti, kecuali disebutkan
dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman telah mengadakan upacara korban
emas dan tidak menghadiahkan sebanyak 20.000 ekor sapi untuk golongan Brahmana.
Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila
emas dan sapi tersebut didatangkan dari tempat lain, bisa disimpulkan bahwa
kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang.
Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah maju. Hal ini dibuktikan
melalui upacara penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu) yang disebut
Vratyastoma.
Vratyastoma dilaksanakan sejak pemerintahan Aswawarman karena Kudungga masih
mempertahankan ciri-ciri keIndonesiaannya, sedangkan yang memimpin upacara
tersebut, menurut para ahli, dipastikan adalah para pendeta (Brahmana) dari
India. Tetapi pada masa Mulawarman kemungkinan sekali upacara penghinduan
tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli. Adanya
kaum Brahmana asli orang Indonesia membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya
tinggi, terutama penguasaan terhadap bahasa Sansekerta yang pada dasarnya
bukanlah bahasa rakyat India sehari-hari, melainkan lebih merupakan bahasa
resmi kaum Brahmana untuk masalah keagamaan.
2. Kerajaan
Sriwijaya
Dalam
sejarah Indonesia ada dua kerajaan kuno yang selalu disebutkan sebagai kerajaan-kerajaan
yang megah dan jaya, yang melambangkan kemegahan dan kejayaan Indone¬sia di
zaman dulu. Kedua kerajaan itu adalah Sriwijaya dan Majapahit.
Lokasi Kerajaan
a. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang bukan saja
dikenal di wilayah Indonesia, tetapi dikenal di setiap bangsa atau negara yang
berada jauh di luar Indo¬nesia. Hal ini disebabkan letak Kerajaan Sriwijaya
yang sangat strategis dan dekat dengan Selat Malaka. Telah kita ketahui, Selat
Malaka pada saat itu merupakan jalur perdagangan yang sangat ramai dan dapat
menghubung-kan antara pedagang-pedagang dari Cina dengan India maupun Romawi.
Dari tepian Sungai Must di Sumatra Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya terus
meluas yang mencakup Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian
barat, Bangka, Jambi Hulu, dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara),
Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra. Luasnya wilayah laut yang
dikuasai Kerajaan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang
besar pada zamannya.
b. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari
berita asing dan prasasti-prasasti.
Berita Asing
Mengingat Kerajaan Sriwijaya me¬rupakan kerajaan maritim dengan letak yang
sangat strategis, banyak pedagang-pedagang asing yang datang untuk melakukan
aktivitas di Kerajaan Sriwijaya. Untuk itu banyak ditemukan informasi mengenai
keberadaan Keraja¬an Sriwijaya ini. Berita asing tersebut antara lain sebagai
berikut.
Berita Arab Dari berita Arab dapat di-ketahui bahwa banyak pedagang Arab yang
melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya. Bahkan di pusat Kerajaan
Sriwijaya ditemukan perkam-pungan-perkampungan orang-orang Arab sebagai tempat
tinggal sementara. Keberadaan Kerajaan Sriwijaya juga diketahui dari sebutan
orang-orang Arab terhadap Kerajaan Sriwijaya seperti Zabaq, Sabay, atau
Sribusa.
Berita India Dari berita India dapat diketahui bahwa raja dari Kerajaan
Sri¬wijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di
India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola.
Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan satu
prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut
dinyatakan Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5
desa dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa itu wajib membiayai para
mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda.
Di samping menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga
menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India
Selatan. Hubungan ini menjadi retak setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai
Selat Malaka.
Berita Cina Dari berita Cina, dapat diketahui bahwa pedagang-pedagang Kerajaan
Sriwijaya telah menjalin hubungan perdagangan dengan pedagang-pedagang Cina.
Para pedagang Cina sering singgah di Kerajaan Sriwijaya untuk selanjutnya
meneruskan perjalanannya ke India maupun Romawi.
Berita dalam Negeri
Berita-berita dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh
raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti tersebut sebagian besar
mengguna-kan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain
sebagai berikut.
Prasasti Kedukan Bukit Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan bahwa Raja
Sriwijaya bernama Dapunta Hyang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil
menundukkan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi
makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga
yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk perdagangan.
Prasasti Telaga Batu Prasasti itu menyebutkan tentang kutukan raja terhadap
siapa saja yang tidak taat terhadap Raja Sriwijaya dan juga melakukan tindakan
kejahatan.
Prasasti Talang Tuwo Prasasti berangka tahun 684 M. itu menyebutkan tentang
pembuatan Taman Srikesetra atas perin¬tah Raja Dapunta Hyang.
Prasasti Kota Kapur Prasasti berangka tahun 686 M. itu menyebutkan bahwa
Kerajaan Sriwijaya berusaha untuk menaklukkan Bumi Jawa yang tidak setia kepada
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti tersebut ditemukan di Pulau Bangka.
Prasasti Karang Berahi Prasasti berangka tahun 686 M. itu ditemukan di daerah
pedalaman Jambi, yang menunjukkan penguasaan Kerajaan Sriwijaya atas daerah
itu.
Prasasti Ligor Prasasti berangka tahun 775 M. itu menyebutkan tentang ibukota
Ligor dengan tujuan untuk mengawasi pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka.
Prasasti Nalanda Prasasti ini menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai raja
terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat
kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu,
Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Dinasti
Syailendra. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan
membebaskan 5 desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang
belajar di Nalanda.
c. Kehidupan Politik
Dalam perkembangan sejarah Indonesia, Kerajaan Sriwijaya merupakan sebuah
kerajaan besar yang megah dan jaya di masa lampau. Namun, tidak semua raja yang
pernah memerintah meninggalkan prasasti. Raja-raja yang berhasil diketahui
pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut.
Raja Dapunta Hyang Berita mengenai raja ini diketahui melalui Prasasti Kedukan
Bukit (683 M). Pada masa pemerintahannya. Raja Dapunta Hyang telah berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi, yaitu dengan menduduki
wilayah Minangatamwan. Sejak awal pemerintahannya. Raja Dapunta Hyang telah
mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
Raja Balaputra Dewa Pada masa pemerintahan Balaputra Dewa, Kerajaan Sriwijaya
mengalami masa kejayaannya. Pada awalnya. Raja Balaputra Dewa adalah raja dari
Kerajaan Syailendra (di Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan
Syailendra antara Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu
oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami kekalahan.
Akibat kekalahan itu. Raja Balaputra Dewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan
Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Raja Balaputra Dewa) yang
tidak memiliki keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputra Dewa di Kerajaan
Sriwijaya disambut baik. Kemudian, ia diangkat menjadi raja.
Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa, Kerajaan Sriwijaya berkembang
pesat. Raja Balaputra Dewa meningkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan
rakyat Sriwijaya.
Raja Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan
Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah Raja Rajendra Chola,
Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya.
Sanggrana Wijayattunggawarman berhasil ditawan. Namun pada masa pemerintahan
Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman
dibebaskan kembali.
d. Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya
Pada awal pertumbuhannya, Kerajaan Sriwijaya mengadakan perluasan wilayah
kekuasaan ke daerah-daerah sekitamya. Setelah berhasil menguasai Palembang,
ibukota Kerajaan Sriwijaya dipindah dari Muara Takus ke Palembang. Dari
Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai daerah-daerah di
sekitamya seperti Bangka, Jambi Hulu dan mungkin juga Jawa Barat (Tammanegara).
Maka dalam abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci
jalan perdagangan yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka,
dan Laut Jawa bagian barat.
Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu
menduduki Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra. Pendudukan terhadap daerah
Semenanjung Malaya bertujuan untuk menguasai daerah penghasil lada dan timah.
Sedangkan pendudukan terhadap Tanah Genting Kra bertujuan untuk menguasai jalur
perdagangan antara Cina dan India. Tanah Genting Kra sering digunakan oleh para
pedagang untuk menye-berang dari perairan Laut Hindia ke Laut Cina Selatan,
untuk menghindari persinggahan di pusat Kerajaan Sriwijaya.
Pada akhir abad ke-8 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh
jalur perdagangan di Asia Tenggara, baik yang melalui Selat Sunda maupun Selat
Malaka, Selat Karimata, dan Tanah Genting Kra. Dengan wilayah kekuasaan itu,
Kerajaan Sriwijaya menjadi Kerajaan Laut terbesar di Asia Tenggara.
e. Sriwijaya sebagai Negara Maritim
Berita tentang Kerajaan Sriwijaya berasal dari seorang musafir Cina bernama
I-tsing (671 M). Berita lain berasal dari tahun 683 M dengan ditemukannya
Prasasti Kedukan Bukit di Bukit Sigutang (dekat Palembang).
Prasasti mi menyebutkan bahwa seorang raja yang bijaksana berlayar ke luar
negeri untuk mencari kekuatan gaib. Usaha besar yang dimaksudkan itu adalah
perjalanan ekspedisi Raja Sriwijaya yang berhasil dengan gemilang menaklukan
Bangka dan Melayu (di Jambi).
Prasasti Kota Kapur (686 M) yang ditemukan di Pulau Bangka menyata-kan bahwa
penduduk Pulau Bangka tunduk pada Kerajaan Sriwijaya. Diberitakan pula bahwa
Kerajaan Sriwijaya telah melakukan ekspedisi ke Pulau Jawa. Perluasan yang
dilakukan Kerajaan Sriwijaya bertujuan untuk menguasai jalur perdagangan di
Selat Malaka dan Selat Sunda, yang merupa-kan jalur pelayaran dan perdagangan
yang penting. Keberhasilan Kerajaan Sriwijaya berkuasa atas semua selat itu
menjadikannya sebagai penguasa tunggal jalur aktivitas perdagangan dunia yang
melalui Asia Tenggara.
Armada Kerajaan Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan aktivitas pelayaran
dan perdagangan. Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang untuk
singgah di pusat atau di bandar Kerajaan Sriwijaya. Semakin ramainya aktivitas
pelayaran perdagangan mengakibatkan Kerajaan Sriwijaya menjadi tempat pertemuan
para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara. Pengaruh dan peranan
Kerajaan Sriwijaya semakin besar di laut. Bahkan para pedagang dari Kerajaan
Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar wilayah Indonesia, sampai ke
Cina di sebelah utara/ atau Laut Merah dan Teluk Persia di sebelah barat.
f. Hubungan Luar Negeri
Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar
Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti
Kerajaan Pala (Nalanda) di Benggala dan Kerajaan Cholamandala di pantai timur
India Selatan.
D Sriwijaya dan Pala
Sekitar abad ke-8 M hingga abad ke-11 M daerah Benggala diperintah oleh
raja-raja dari Dinasti Pala. Seorang rajanya yang terbesar bernama Raja Dewa
Paladewa (abad ke-9 M). Hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan Kera¬jaan Pala amat
baik, terutama dalam bidang kebudayaan dan agama. Kedua kerajaan ini menganut
agama Buddha. Banyak Bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya belajar agama di perguruan
tinggi Nalanda. Hubungan baik ini dibuktikan dengan Prasasti Nalanda (860 M).
Di samping pembebasan lima desa dari pajak, prasasti itu juga berisi pernyataan
bahwa Raja Balaputra Dewa terusir dari Kerajaan Syailendra akibat kalah perang
melawan kakaknya Pramo-dhawardani dan kemudian diangkat menjadi raja di
Kerajaan Sriwijaya. Dengan demikian, hubungan dengan Kerajaan Pala adalah untuk
mendapat-kan dukungan dalam memperkuat kedudukannya menjadi raja di Sriwijaya.
Sriwijaya dan Cholamandala
Pada awalnya hubungan kedua kerajaan itu amat baik. Raja Sriwijaya yang bernama
Sanggrama Wijayattunggawarman mendirikan satu biara (1006 M) di Kerajaan Chola
untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya.
Persahabatan kedua kerajaan berubah menjadi permusuhan akibat persaingan di
bidang pelayaran dan perdagangan. Raja Rajendra Chola yang berkuasa di Kerajaan
Chola melakukan dua kali serangan ke Kerajaan Sriwijaya. Serangan pertama tahun
1007 M mengalami kegagalan. Namun, serangan kedua (1023/1024 M) berhasil
merebut kota dan bandar-bandar penting Kerajaan Sriwijaya/ bahkan Raja
Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan.
Serangan itu tidak mengakibatkan terjadinya penjajahan, karena tujuannya hanya
membinasakan armada Kerajaan Sriwijaya. Jika kekuatan Kerajaan Sriwijaya
berhasil ditaklukkan, maka jaringan pelayaran perdagangan di wilayah Asia
Tenggara hingga India dapat dikuasai oleh Kerajaan Chola.
Walaupun serangan Kerajaan Chola tidak mematikan Kerajaan Sriwijaya, tetapi
untuk sementara kekuatan Sriwijaya lumpuh. Kelumpuhan Kerajaan Sriwijaya
merupakan peluang baik bagi Airlangga di Jawa Timur yang dengan cepat menyusun
kekuatan angkatan perangnya, baik di darat maupun di laut. Dalam waktu singkat
keruntuhan Kerajaan Dharmawangsa dapat ditegakkan kembali, sehingga ketika
kekuatan Kerajaan Sriwijaya pulih kembali, di Jawa Timur telah berdiri negara
besar dan kuat, sebagai saingannya.
g. Mundurnya Kerajaan Sriwijaya
Pada akhir abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Hal ini
disebabkan oleh faktor politik dan ekonomi.
Faktor Politik Kedudukan Kerajaan Sriwijaya makin terdesak, karena munculnya
kerajaan-kerajaan besar yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan,
seperti Kerajaan Siam di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya
ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaka termasuk Tanah
Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam
mengakibatkan kegiatan pelayaran perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin
berkurang.
Dari daerah timur, Kerajaan Sriwijaya terdesak oleh perkembangan Kerajaan
Singasari, yang pada waktu itu diperintah oleh Raja Kertanegara. Kerajaan
Singasari yang berdta-cita menguasai seluruh wilayah Nusantara mulai mengirim
ekspedisi ke arah barat yang dikenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu. Dalam
ekspedisi ini, Kerajaan Singasari mengadakan pendudukan terhadap Kerajaan
Melayu, Pahang, dan Kalimantan, sehingga mengakibatkan kedudukan Kerajaan
Sriwijaya makin terdesak.
Faktor Ekonomi Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan
Sriwijaya semakin berkurang, karena daerah-daerah strategis yang pernah
dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya telah jatuh ke kekuasaan raja-raja sekitarnya.
Akibatnya, para pedagang yang melakukan penyeberangan ke Tanah Genting Kra atau
yang melakukan kegiatan ke daerah Melayu (sudah dikuasai Kerajaan Singasari)
tidak lagi melewati wilayah kekuasaan Sriwijaya. Keadaan seperti ini tentu
mengurangi sumber pendapatan kerajaan.
Dengan alasan faktor politik dan ekonomi, maka sejak akhir abad ke-13 M
Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya terbatas pada daerah
Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan oleh
Kerajaan Majapahit tahun 1377 M.
3. Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram (Hindu-Buddha), sering disebut dengan Kerajaan Mataram Kuno
sebagai pembeda dengan Mataram Baru atau Kesultanan Mataram (Islam), adalah
suatu kerajaan yang berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan antara abad ke-8 dan
abad ke-10. Kerajaan Mataram terdiri dari dua dinasti, yakni Wangsa Sanjaya dan
Wangsa Syailendra. Wangsa Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya
pada tahun 732. Beberapa saat kemudian, Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha
Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua wangsa ini berkuasa
berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada
prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
Wangsa Syailendra
?ailendra adalah nama wangsa atau dinasti yang sebagian besar raja-rajanya
menganut agama Buddha Mah?y?na yang berkuasa di Meda?g, Kerajaan Mataram Kuno
sejak tahun 752. Wangsa ini hidup berdampingan dengan Wangsa Sajaya yang
berkuasa sejak tahun 732, di daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Wangsa Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand
dan Kamboja). Wangsa ini bercorak Buddha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada
tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan
dibanding Wangsa Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812),
Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan
perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara,
puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan
Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.
Peninggalan terbesar Wangsa Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai
dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).
Asal-Usul Wangsa Syailendra
Di Indonesia nama ?ailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam Prasasti
Kalasan dari tahun 778 Masehi (?ailendragurubhis; ?ailendrawa??atilakasya;
?ailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam Prasasti Kelurak
dari tahun 782 Masehi (?ailendrawa??atilakena), dalam Prasasti Abhayagiriwihara
dari tahun 792 Masehi (dharmmatu?gadewasya?ailendra), Prasasti Sojomerto dari
tahun 725 Masehi (selendranamah)dan Prasasti Kayumwu?an dari tahun 824 Masehi
(?ailendrawa??atilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam Prasasti
Ligor dari tahun 775 Masehi dan Prasasti N?landa.
Mengenai asal usul keluarga ?ailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa
sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarahwan dan arkeologis
dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga ?ailendra berasal
dari India, dari Funan, dan penduduk asli dari Nusantara.
Teori India
Majumdar beranggapan bahwa keluarga ?ailendra di Nusantara, baik di
?r?wijaya (Sumatera) maupun di Mda? (Jawa) berasal dari Kalingga (India
Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens.
Moens menganggap bahwa keluarga ?ailendra berasal dari India yang menetap di
Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hiya?. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini
melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hiya? dengan bala
tentaranya. Pada waktu itu ?r?wijaya pusatnya ada di Semenanjung Tanah Melayu.
Pernyataan yang hampir senada dengan Moens dikemukakan oleh Slametmulyana.
Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar dapunta pada
Prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada Prasasti Kedukan Bukit pada
nama Dapunta Hiya?. Prasasti Sojomerto dan Prasasti Kedukan Bukit merupakan
prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. Karena asal bahasa Melayu Kuno itu dari
Sumatera dan adanya politik perluasan wilayah dari Kad?tuan ?r?wijaya pada
sekitar tahun 680-an Masehi, dapat diduga bahwa Dapunta Selendra adalah salah
seorang pembesar dari Sumatera Selatan yang menyingkir ke pantai utara Jawa di
sekitar Pekalongan.
Teori Funan
Coedes lebih condong kepada anggapan bahwa ?ailendra yang ada di Nusantara
itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan
runtuhnya Kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa,
dan muncul sebagai penguasa di Mda? (Matar?m) pada pertengahan abad ke-8 Masehi
dengan menggunakan nama keluarga ?ailendra.
Teori Jawa
Pendapat bahwa keluarga ?ailendra berasal dari Nusantara (Jawa) dikemukakan
oleh Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya
itu ialah raja-raja dari keluarga ?ailendra, asli Nusantara yang menganut agama
?iva. Tetapi sejak Pa?amkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mah?y?na,
raja-raja di Matar?m menjadi penganut agama Buddha Mah?y?na juga. Pendapatnya
itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa R. Sajaya
menyuruh anaknya R. Panaraban atau R.Tamperan untuk berpindah agama karena
agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang.
Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian
diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam
prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Sojomerto itu disebutkan nama
Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santan?), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama
istrinya (Samp?la) (da p? nta selendra namah santan? n?ma nda bapa nda
bhadrawati n?ma nda aya nda samp?la n?ma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang
bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan ?ailendra yang
berkuasa di Mda?.
Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskrit
?ailendra karena di dalam prasasti menggunakan bahasa Melayu Kuno. Jika
demikian, kalau keluarga ?ailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka
memakai bahasa Sanskrit di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya
Prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga ?ailendra dengan pendirinya
Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari
sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sajaya mendirikan sebuah lingga di bukit
Sth?ra?ga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Di sebutkan pula bahwa Sajaya
memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan
bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sajaya.
Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang
penguasa di Mda? (Matar?m), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sajaya. Raja
Sajaya mulai berkuasa di Mda? pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan
dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sajaya
naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710
Masehi. Hal ini bererti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad
ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah
lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi
untuk sampai kepada Dapunta Selendra. Dalam Carita Parahiyangan disebutkan
bahawa Raja Mandimiak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang
pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiak diganti oleh Sang Sena yang
memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga
bahwa Mandimiak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1
orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiak.
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti T’ang memberitakan tentang
Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (=Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat
kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Simo).
Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta
dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperolehi urutan raja-raja yang
memerintah di Mda?, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Simo (674-703
Masehi), Mandimiak (703-710 Masehi), R.Sanna (710-717 Masehi), R.Sajaya
(717-746 Masehi), dan Rakai Pa?amkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.
Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Syailendra
yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa. Pada awal
era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para
ahli sejarah, Wangsa Sanjaya awalnya berada dibawah pengaruh kekuasaan Wangsa
Syailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara
pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah.
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasti
Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari
keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih.
Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuno dari abad ke-8 dan
ke-9 yang bercorak Buddha (Syailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian
selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa
Tengah bagian utara.
Wangsa Syailendra pada saat berkuasa, juga mengadakan hubungan yang erat
dengan kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Pada masa pemerintahan raja Indra
(782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja
Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan
penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai
Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla
(Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.
Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga
(812-833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini
menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Samaratungga memiliki puteri
bernama Pramodhawardhani dan dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, putera
bernama Balaputradewa.
Daftar raja-raja dari wangsa Syailendra
* Bhanu (752-775), raja pertama dan pendiri Wangsa Syailendra
* Wisnu (775-782), Candi Borobudur mulai dibangun
* Indra (782-812), menyerang dan mengalahkan Kerajaan Chenla (Kamboja), serta
mendudukinya selama 12 tahun
* Samaratungga (812-833), Candi Borobudur selesai dibangun
* Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan, pangeran Wangsa
Sanjaya
* Balaputradewa (833-850), melarikan diri ke Sriwijaya setelah dikalahkan Rakai
Pikatan
Runtuhnya Wangsa Syailendra
Pramodhawardhani, puteri raja Samaratungga menikah dengan Rakai Pikatan, yang
waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang
bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai
Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan saudara
Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa Syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu
ketika Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya yang merupakan negeri asal
ibunya.
Wangsa Sanjaya
Dinasti Sanjaya adalah wangsa atau dinasti yang sebagian besar rajanya
menganut agama Hindu, yang dikenal sebagai pendiri Kerajaan Mataram Kuno.
Menurut Prasasti CanggalWangsa ini didirikan pada tahun 732 oleh Sanjaya. Tak
banyak yang diketahui pada masa-masa awal Wangsa Sanjaya. Wangsa Syailendra
cukup dominan waktu itu.
Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah
dengan Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga.
Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram,
menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa,
dan pada tahun 850, Wangsa Sanjaya kembali menjadi satu-satunya penguasa
Mataram.
Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan
merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini,
ditulis karya sastra Ramayana dalam Bahasa Jawa Kuno. Pada tahun 928, Mpu
Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur
(Medang). Alasan perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau
mendapat serangan dari Sriwijaya. Sejak inilah berakhir era Wangsa Sanjaya, dan
Mpu Sindok yang diperkirakan adalah keturunan atau menantu keturunan dari
Wangsa Sanjaya, mendirikan dinasti baru yaitu Wangsa Isyana yang memerintah di
Jawa Timur.
Daftar raja-raja Wangsa Sanjaya
* Sanna
* Sanjaya (732-760)
* Rakai Panangkaran (760-780)
* Rakai Panunggalan (780-800)
* Rakai Warak (800-819)
* Rakai Garung (819-838)
* Rakai Pikatan (838-856)
* Rakai Kayuwangi (856-886)
* Rakai Watuhumalang (886-898)
* Dyah Balitung (898-910)
* Daksa (910-919)
* Tulodong (919-924)
* Dyah Wawa (924-928)
* Mpu Sindok (928-929)
Sumber: - http://masaji.blogdetik.com/2009/03/06/sejarah-kerajaan-mataram-kuno/
4. Kerajaan
SINGASARI
Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha di Jawa Timur yang
didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang
diperkirakan di daerah Singosari, Malang. Kerajaan Singasari
hanya sempat bertahan 70 tahun sebelum mengalami keruntuhan. Kerajaan ini
beribu kota di Tumapel yang terletak di kawasan bernama Kutaraja. Pada awalnya,
Tumapel hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang berada dibawah kekuasaan
Kerajaan Kadiri dengan bupati bernama Tunggul Ametung. Tunggul Ametung dibunuh
oleh Ken Arok yang merupakan pengawalnya.
Keberadaan
Kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi
yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga
melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama
karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di
Singosari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang
penuh keajaiban. Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau
dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat
diketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati)
di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada
Ken Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel
dari kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya
terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan
tersebut, maka tahun 1222 M /1144 C Ken Arok menyerang Kediri, sehingga
Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang
mengangkat dirinya sebagai raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
A. SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN SINGASARI
Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singasari alias Tumapel ini.
Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat dari Prasasti
Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri Kerajaan Singasari yang
digantikan oleh Anusapati (1247–1249 M). Anusapati diganti oleh Tohjaya
(1249–1250 M), yang diteruskan oleh Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272
M). Terakhir adalah Kertanegara yang memerintah sejak 1272 hingga 1292 M.
Sementara pada versi Negarakretagama, raja pertama Kerajaan Singasari adalah
Rangga Rajasa Sang Girinathapura (1222–1227 M). Selanjutnya adalah Anusapati,
yang dilanjutkan Wisnuwardhana (1248–1254 M). Terakhir adalah Kertanagara
(1254–1292 M). Data ini didapat dari prasasti Mula Malurung.
1. Ken Arok (1222–1227 M)
Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi Raja
Singasari yang pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi.
Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu
dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra
(Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227 M). Pada
tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken
Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa–Buddha.
2. Anusapati (1227–1248 M)
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati.
Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan
pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam.
Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo
(putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar
menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan
Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik
menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu
Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian,
meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.
Gambar: Candi
Kidal
3. Tohjoyo (1248 M)
Dengan meninggalnya Anusapati maka tahta Kerajaan Singasari dipegang oleh
Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak
Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan
bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan
Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.
4. Ranggawuni (1248–1268 M)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 M dengan gelar Sri
Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang
diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti.
Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat
Singasari. Pada tahun 1254 M Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama
Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi
raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia
dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di
Candi Waleri sebagai Siwa.
Gambar: Candi Jago
5. Kertanegara (1268-1292 M)
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai
cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268
dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia
dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu,
dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara,
ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih
Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep
(Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian
perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu
yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai
Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca Amoghapasa ke
Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara.
Gambar: Arca
Amoghapasa
Selain menguasai Melayu, Singasari juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali,
Bakulapura (Kalimantan Barat), dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin
hubungan persahabatan dengan raja Champa,dengan tujuan untuk menahan perluasaan
kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Kubilai Khan menuntut raja-raja di
daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang dipertuan.
Kertanegara menolak dengan melukai muka utusannya yang bernama Mengki. Tindakan
Kertanegara ini membuat Kubilai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya
dengan mengirimkan pasukannya ke Jawa. Mengetahui sebagian besar pasukan
Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol maka Jayakatwang (Kediri)
menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Serangan dilancarakan dari dua arah,
yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan
merupakan pasukan inti.
Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan
berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para
pembesar istana. Kertanaga beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam
serangan tersebut. Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya (Jayakatwang), sedangkan
Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta
perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja,
Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya
diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang untuk
ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari dikuasai oleh
Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan
agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa––Buddha
(Bairawa) di Candi Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog
yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.
Gambar: Candi
Singasari
B. KEHIDUPAN DI KERAJAAN SINGASARI
Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singasari mengalami masa naik turun.
Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha meningkatkan kehidupan
masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada
pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian
karena ia larut dalam kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana
kehidupan sosial masyarakatnya mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia
meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara
dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.
Politik
Dalam Negeri:
- Mengadakan
pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh
Aragani, dll.
- Berbuat
baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang
(Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya.
- Memperkuat
angkatan perang.
Politik Luar Negeri:
- Melaksanakan
Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai Kerajaan melayu serta melemahkan posisi
Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
- Menguasai
Bali.
- Menguasai
Jawa Barat.
- Menguasai
Malaka dan Kalimantan.
Berdasarkan segi budaya, ditemukan candi-candi dan patung-patung diantaranya
candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari. Sedangkan patung-patung yang
ditemukan adalah patung Ken Dedes sebagai Dewa Prajnaparamita lambing
kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam wujud patung Joko Dolog, dan patung
Amoghapasa juga merupakan perwujudan Kertanegara (kedua patung kertanegara baik
patung Joko Dolog maupun Amoghapasa menyatakan bahwa Kertanegara menganut agama
Buddha beraliran Tantrayana).
C. RUNTUHNYA KERAJAAN SINGASARI
Sebagai sebuah kerajaan, perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan
berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi
dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. Pada
saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa.
Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292
terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu,
sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu
Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi
raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari
pun berakhir.
D. HUBUNGAN KERAJAAN SINGASARI DENGAN MAJAPAHIT
Pararaton, Nagarakretagama dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya, cucu
Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanegara lolos dari maut. Berkat bantuan
Aria Wiararaja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh
Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada tahun 1293 datang
pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka
dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah
Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol
keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit
sebagai kelanjutan Singasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa
Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.
5.
Majapahit
Majapahit
|
|
Surya Majapahit*
|
Peta wilayah kekuasaan Majapahit
berdasarkan Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan
Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[1]
|
Ibu kota
|
|
Bahasa
|
|
|
|
|
|
|
- 1295-1309
|
|
- 1478-1498
|
|
Sejarah
|
|
- Penobatan Raden Wijaya
|
|
|
1527
|
|
Koin emas dan perak, kepeng (koin perunggu yang diimpor
dari Tiongkok)
|
*Surya
Majapahit adalah lambang yang umumnya dapat ditemui di reruntuhan
Majapahit, sehingga Surya Majapahit mungkin merupakan simbol kerajaan
Majapahit
|
|
Majapahit adalah sebuah kerajaan yang
berpusat di Jawa Timur, Indonesia,
yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini
mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan
raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara
pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha
terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara
terbesar dalam sejarah Indonesia.[2]
Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan,
hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.[3]
Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit,[4]
dan sejarahnya tidak jelas.[5]
Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton
('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama[6]
dalam bahasa Jawa Kuno.[7]
Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri
Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa
bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama
merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan
Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk.
Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.[8]
Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan
negara-negara lain.[8]
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat
disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa
sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa
lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[9]
Namun demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar
sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah
dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup
pasti.[5]
Sejarah
Berdirinya Majapahit
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari
telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai
Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia
mengirim utusan yang bernama Meng Chi[10]
ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir
menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak
wajahnya dan memotong telinganya.[10][11]
Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri,
sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria
Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden
Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian,
Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya
menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. [12]
Jawaban dari surat diatas disambut dengan senang hati.[12]
Raden
Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan
membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil
dari buah maja, dan
rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya
bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah
berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu
Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara
kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.[13][14]
Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat
pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang
asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit
adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika
tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November
1293. Ia dinobatkan
dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi
masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe,
Sora,
dan Nambi
memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil.
Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra
Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut
disebutkan dalam Pararaton.[15]
Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia
dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian
pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[14]
Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara.
Pararaton
menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah".
Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta
Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton
Majapahit di Jawa.
Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu
Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih
mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni.
Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk
menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada
sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah
Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan
membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit
berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana
berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan
oleh putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Bidadari Majapahit yang anggun, arca cetakan emasapsara
(bidadari surgawi) gaya khas Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman
kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" nusantara.
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya
Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada.
Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak
wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh
XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan,
Sulawesi,
kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura)
dan sebagian kepulauan Filipina[16].
Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan
Majapahit.
Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah
kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat
Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin
berupa monopoli oleh raja[17].
Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan,
dan Vietnam,
dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.[17][2]
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh
jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan
politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan
Sunda sebagai permaisurinya.[18]
Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357
rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit
mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada
melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah
Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit
di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan,
keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh
rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[19]
Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam
melakukan "bela pati", bunuh diri
untuk membela kehormatan negaranya.[20]
Kisah Pasunda
Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung
Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam
Pararaton
tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada
tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa
seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang
rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang
dari Sumatera
ke Papua, mencakup
Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi
lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai
kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit
hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah
itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan
pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan
atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi
keras.[21]
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit
melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan
kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya
adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan
Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar
agama Islam mulai memasuki kawasan ini.
Jatuhnya Majapahit
Pasukan Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14,
kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada
tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta.
Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi
sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana.
Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi
yang juga menuntut haknya atas takhta.[5]
Perang saudara yang disebut Perang
Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi
melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana,
semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara
ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti
Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho,
seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu
1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan
komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa,
seperti di Semarang,
Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun
mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.[22]
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya,
Ratu Suhita,
yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua
Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447,
Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya,
adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre
Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di
Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa
raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana,
putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan
digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi
memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja
Majapahit.[8].
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para
penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara.
Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh
Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan
baru yang berdasarkan Islam,
yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat
Nusantara[23].
Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi
membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad
ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera.
Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya
di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman
di Daha (bekas ibu
kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana hingga
digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya
mengalahkan Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan.
Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar
Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat
konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di
pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun
1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian
dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan[24])
hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala
yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah
tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti
sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang
sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre
Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana[25].
Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah
mengalahkan Kertabhumi [25]
dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara
Daha dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah
keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527.[26]
Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan
mengungsi ke pulau Bali.
Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari
Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan
kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan
Majapahit[27].
Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah),
diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi
Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V
dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires),
dan Italia (Pigafetta)
mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan
penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan
Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M[25].
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan
Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan
Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal
kerajaan Blambangan
di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di
bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat
Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger
hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
Kebudayaan
Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu
kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak
berdiri di Trowulan.
"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang
luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi
tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan
dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan
bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga,
menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan
cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit.
Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan
Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit
datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga
jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di
Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk
langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang
menikmati otonomi
luas.[28]
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan
besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama
Buddha, Siwa,
dan Waisnawa
(pemuja Wisnu)
dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha,
Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi
sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]
Walaupun batu
bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling
ahli menggunakannya[29].
Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan
getah tumbuhan merambat dan gula
merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat
ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto.
".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh
raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik
kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa
mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis
emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China
beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini
selalu berhasil mengalahkannya."
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai
Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang
pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi
beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin
di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia
Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus
Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju
kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan
Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China,
terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci
nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan.
Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai
rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan
mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa
kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali.
Kerajaan Jawa yang disebutkan disini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi
pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.
Ekonomi
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[17].
Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian
mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang yang
menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada
masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting
terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu
keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping
koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang
penduduk di Sidoarjo.
Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin
tersebut berasal dari era Majapahit.[31]
Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan
sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya
ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang
Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar
Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan
perak yang mahal.[28]
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu
dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka
tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu
penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[28]
Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan
spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual
minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan
ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari
pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era
Majapahit.
Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok,
komoditas ekspor
Jawa pada saat itu ialah lada, garam,
kain, dan burung kakak tua,
sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang
dari besi. Mata uangnya
dibuat dari campuran perak,
timah
putih, timah hitam, dan tembaga[32].
Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik
Roma dari Italia
yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan
emas, perak, dan permata.
[33]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai
Brantas dan Bengawan
Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya
Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan
pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa
mungkin sekali berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan
komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak yang
dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber
pemasukan penting bagi Majapahit.[28]
Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah
menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus
dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan
melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki
pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang
menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit
di Jawa[34].
Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan
dan susunan birokrasi
yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk,
dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama
perkembangan sejarahnya [35].
Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik
tertinggi.
Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan
pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan
tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya,
antara lain yaitu:
·
Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya
dijabat putra-putra raja
·
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang
melaksanakan pemerintahan
·
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang
terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi.
Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja
dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula
semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja,
yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari[14],
terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa.
Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara
yang bergelar Bhre atau "Bhatara
i". Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya
posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk
mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan
mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di
Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam
pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
1. Bhumi: kerajaan, diperintah
oleh Raja
2. Nagara:
diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre
(pangeran atau bangsawan)
3. Watek:
dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu:
dikelola oleh lurah,
5. Wanua:
dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan:
dusun kecil atau tempat sakral.
No
|
Provinsi
|
Gelar
|
Penguasa
|
Hubungan dengan
Raja
|
1
|
|
Bhre Kahuripan
|
Tribhuwanatunggadewi
|
ibu suri
|
2
|
Daha (bekas ibukota dari Kediri)
|
Bhre Daha
|
Rajadewi Maharajasa
|
bibi sekaligus ibu mertua
|
3
|
|
Bhre Tumapel
|
Kertawardhana
|
ayah
|
4
|
|
Bhre Wengker
|
Wijayarajasa
|
paman sekaligus ayah mertua
|
5
|
|
Bhre Matahun
|
Rajasawardhana
|
suami dari Putri Lasem, sepupu raja
|
6
|
|
Bhre Wirabhumi
|
Bhre Wirabhumi1
|
anak
|
7
|
Paguhan
|
Bhre Paguhan
|
Singhawardhana
|
saudara laki-laki ipar
|
8
|
Kabalan
|
Bhre Kabalan
|
Kusumawardhani2
|
anak perempuan
|
9
|
Pawanuan
|
Bhre Pawanuan
|
Surawardhani
|
keponakan perempuan
|
10
|
|
Bhre Lasem
|
Rajasaduhita Indudewi
|
sepupu
|
11
|
|
Bhre Pajang
|
Rajasaduhita Iswari
|
saudara perempuan
|
12
|
|
Bhre Mataram
|
Wikramawardhana2
|
keponakan laku-laki
|
Catatan:
1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran
Wirabhumi (blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut
sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani,
keponakan perempuan raja.
2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan
Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris
tahta.
|
Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu
(1447 M) disebutkan
bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin
oleh seseorang yang bergelar Bhre.[36]
Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan
Thalasokrasi
saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga
termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep
teritorial yang lebih besar pun terbentuk:
- Negara
Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau
Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era
kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah
sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area
ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola
oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
- Mancanegara,
area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung
dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan
tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi,
yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga
kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya
di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka
dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup
besar. Wilayah Mancanegara termasuk didalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya,
Pagaruyung, Lampung dan Palembang
di Sumatra.
- Nusantara,
adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke
dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati
otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa
penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini;
akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit
atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah
kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan,
dan Semenanjung Malaya.
Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit.
Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai
hubungan diplomatik luar negeri:
- Mitreka
Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan
(aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar
negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam
kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura
(Ayutthaya di Thailand),
Dharmmanagari (Kerajaan
Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari
(kerajaan di Myanmar),
Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja),
dan Yawana (Annam).[37]
Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena
kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam
kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri
dengan kedua bangsa ini.
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian
diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang
politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya,
dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi
administratif lebih lanjut.[38]
Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu
wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli penguasa
daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas. Wilayah-wilayah
bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan sistem
pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di
ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam
kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan
Angkor,
serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan
Champa.
Raja-raja Majapahit
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari
dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[39]
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari,
yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa
Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit.
Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana
(penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis
suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[8].
Nama Raja
|
Gelar
|
Tahun
|
|
Kertarajasa Jayawardhana
|
|
Kalagamet
|
|
|
Sri Gitarja
|
|
|
|
Sri Rajasanagara
|
|
|
|
|
|
Dyah Ayu Kencana Wungu
|
|
|
Brawijaya I
|
|
|
Brawijaya II
|
|
|
Brawijaya III
|
|
|
Brawijaya IV
|
|
Bhre Kertabumi
|
|
|
|
Brawijaya VI
|
|
|
|
|
Warisan sejarah
Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum
fĆ¼r Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi
bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya.
Legitimasi politik
Kesultanan-kesultanan Islam Demak,
Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas
kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi
keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah,
menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan
seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan.
Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin
langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena
merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki
tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan
keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di
Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui
hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit,
dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[29]
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad
ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu
Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik
Indonesia saat ini.[17]
Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan
visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari
Majapahit yang diromantiskan.[40]Sukarno
juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru
menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[41]
Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan
secara politik berpusat di pulau Jawa.
Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen
Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang
disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari warna Panji
Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI
Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna
Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip
dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu
Tantular, seorang pujangga Majapahit.
Arsitektur
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur
di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan
di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi
bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks
perumahan masyarakat di Bali
masa kini.
Persenjataan
Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran
teknik pembuatan keris
berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami
penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit
dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan
tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai
tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke
berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.
Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak.
1. BUKTI SEJARAH
〶 Berasal dari kitab sejarah
dinasti Tang.
〶 Di sebelah timur Ho – ling
terletak P’oli dan bahwa negeri Da – pa – tau terletak di sebelah selatan
Kamboja.
〶 Penduduknya menulis di atas
daun Patra (rontal)
〶 Di dalam berita Cina
dikatakan bahwa mayat orang Da – pa – tau diberi bekal berupa perhiasan (emas)
dan dibakar.
〶 Prasasti Bali yang tertua
berangka tahun 804 S (882 M) isinya : pemberian izin kepada para biksu dan
pendeta agama Buddha untuk membuat pertapaan di bukit Cintamani.
〶 Prasasti berangka tahun 818 S
(896 M) dan 883 S (911 M) isinya : mengenai tempat suci dan tidak menyebutkan
nama Raja.
〶
Prasasti yang ditemukan di desa
Blanjong, dekat Sanur *Permukaan prasasti ditulis sebagian dengan huruf Nagari
(huruf India) dan sebagian dengan huruf Bali kuno, sedangkan bahasanya
menggunakan bahasa sansekerta. Angka berupa Candra Sangkala dan berbunyi
“Khecarawahni – Murti artinya tahun 836 S (914 M).
2. BERDIRINYA KERAJAAN BALI
〄 Pusat Kerajaan Bali pertama
di Singhamandawa.
〄 Raja pertama Sri Ugranesa.
〄 Beberapa prasasti yang
ditemukan tidak begitu jelas menggambarkan bagaimana pergantian diantara 1
keluarga raja dengan keluarga raja yang lain.
〄 Prasasti yang ditemukan di
Jawa Timur hanya menerangkan bahwa Bali pernah dikuasai Singasari pada abad ke –
10 & Majapahit abad ke – 14.
3. STRUKTUR KERAJAAN
Dalam struktur kerajaan lama, Raja – raja Bali dibantu oleh badan penasehat
yang disebut “Pakirakiran I Jro Makabehan” yang terdiri dari beberapa Senapati
dan Pendeta Syiwa yang bergelar “Dang Acaryya” dan Pendeta Buddha yang bergelar
“Dhang Upadhyaya”. Raja didampingi oleh badan kerajaan yang disebut “Pasamuan
Agung” yang tugasnya memberikan nasihat dan pertimbangan kepada raja mengenai
jalannya pemerintahan. Raja juga dibantu oleh Patih, Prebekel, dan Punggawa –
punggawa.
4. SISTEM
KEPERCAYAAN
Menyembah banyak dewa yang bukan hanya berasal dari dewa Hindu & Buddha
tetapi juga dari kepercayaan animisme mereka.
5. MATA PENCAHARIAN
〄 Bercocok tanam
〄 Peternakan & berburu
〄 Pedagangan
6. MASALAH HUKUM
Sikap tebuka dalam mengeluarkan pendapat.
Sejarah Singkat Runtuhnya Kerajaan Bali
Dikisahkan
seorang raja Bali yang saat itu bernama Raja Bedahulu atau yang dikenal dengan
nama Mayadenawa yang memiliki seorang patih yang sangat sakti yang bernama Ki
Kebo Iwa. Kedatangan Gadjah Mada dari kerajaan majapahit ke Bali adalah ingin
menaklukan Bali di bawah pimpinan Kerajaan Majapahit, namun karena tidak mampu
patih Majapahit itu mengajak Ki Kebo Iwa ke jawa dan disana disuruh membuat
sumur dan setelah sumur itu selesai Ki Kebo Iwa di kubur hidup-hidup dengan
tanah dan batu namun dalam lontar Bali Ki Kebo Iwa tidak dapat dibunuh dengan
cara yang mudah seperti itu. Tanah dan batu yang dilemparkan ke sumur balik
dilemparkan ke atas. Pada akhirnya dia menyerahkan diri sampai ia merelakan
dirinya untuk dibunuh baru dia dapat dibunuh. Setelah kematian Ki Kebo Iwa,
Bali dapat ditaklukan oleh Gadjah Mada pada tahun 1343.
Sejarah Singkat (lain) Runtuhnya Kerajaan
Bali
- 7.
Kerajaan Bali
- a.
Penyebab Kejayaan
1) Naik tahtanya
Dharmodayana. Pada masa pemerintahnnya, system pemerintahan Kerajaan Bali
semakin jelas.
2) Perkawinan antara Dharma Udayana dengan Mahendradata yang merupakan putri
dari raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur, sehingga kedudukan Kerajaan
Bali semakin kuat.
- b.
Penyebab Kemunduran
1)
Patih Kebo Iwa yang berhasil dibujuk untuk pergi ke Majapahit, sesampainya di
Majapahit Kebo Iwa dibunuh.
2) Patih Gajah Mada yang berpura-pura menyerah dan minta diadakan perundingan
di Bali, lalu ia menangkap raja Bali yaitu Gajah Waktra sehingga kerajaan Bali
berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Sumber : http://tutorjunior.blogspot.com/2009/10/penyebab-kejayaan-dan-kemunduran.html
bali yang dikenal sebagai “Pulau Dewata” pada zaman duhulu kala sebelum
kedatangan majapahit terdapat sebuah kerajaan yang muncul pertama kali di bali
yaitu sekitar 914 M yang diketahui dari sebuah prasasti yang ditemukan di desa
blanjong dekat Sanur yang memiliki pantai matahari terbit. Prasasti itu
berangka tahun 836 saka yang menyebutkan nama rajanya “Khesari Warmadewa”
memiliki istana yang ada di Singhadwala.
Khesari Warmadewa adalah Ugrasena pada tahun 915 M - 942 M. Setelah meninggal,
Abu dari jenasah dari raja Ugrasena dicandikan di Air Madatu, lalu digantikan
oleh mahkota Jayasingha Warmadewa (960 M - 975 M). Dikatakan bahwa raja
Jayasingha membangun dua pemandian di desa Manukraya, yang letaknya sekarang di
dekat istana negara Tapak Siring.
Raja Jayasingha Warmadewa digantikan oleh Raja Jayasadhu Warmadewa (975 M - 983
M), setelah itu wafat digantikan oleh seorang Ratu yang bernama Sri Maharaja
Sriwijaya Mahadewi (983 M - 989 M). Kemudian digantikan oleh Dharmodayana (989
M - 1011 M) yang disebut juga Raja Udayana. Raja Udayana menikah dengan
Gunapriayadharmapatni alias mahendradatta dari kerajaan Medang Kemulan jawa
timur dan dari perkawinannya menghasilkan 3 orang anak yaitu : Airlangga,
Marakata, dan Anak Wungsu. Kemudian Airlangga menikah dengan putri Raja
Dharmawangsa (raja jawa timur).
Raja Marakata menggantikan Raja Udayana sebab Airlangga berada di jawa timur.
Raja Udayana wafat dan abu jenazahnya di candikan di Banu Wka. Marakata diberi
gelar Dharmawangsa Wardana Marakatta Pangkajasthana Uttunggadewa yang
memerintah di bali dari 1011 - 1022. Kemudian digantikan oleh anak Wungsu (1049
- 1077) yang memerintah selama 28 tahun dan dikatakan selama pemerintahannya
keadaan negara aman tenteram. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan dan
meninggal tahun 1077 dan di dharmakan di Gunung Kawi dekat Tapak Siring.
Setelah Anak Wungsu meninggal, keadaan kerajaan di Bali tetap mengadakan
hubungan dengan raja-raja di Jawa dan ada dikisahkan seorang raja Bali yang
saat itu bernama Raja Bedahulu atau yang kenal dengan nama Mayadenawa yang
memiliki seorang patih yang sangat sakti yang bernama Ki Kebo Iwa. Kedatangan
Gadjah Mada dari kerajaan majapahit ke Bali adalah ingin menaklukan Bali di
bawah pimpinan Kerajaan Majapahit, namun karena tidak mampu patih Majapahit itu
mengajak Ki Kebo Iwa ke jawa dan disana disuruh membuat sumur dan setelah sumur
itu selesai Ki Kebo Iwa di kubur hidup-hidup dengan tanah dan batu namun dalam
lontar Bali Ki Kebo Iwa tidak dapat dibunuh dengan cara yang mudah seperti itu.
Tanah dan batu yang dilemparkan ke sumur balik dilemparkan ke atas. Pada
akhirnya dia menyerahkan diri sampai ia merelakan dirinya untuk dibunuh baru
dia dapat dibunuh. Setelah kematian Ki Kebo Iwa, Bali dapat ditaklukan oleh
Gadjah Mada pada tahun 1343. Setelah Bali ditaklukan oleh kerajaan Majapahit,
sebagian penduduk Bali Kuno melarikan diri ke daerah pegunungan yang kemudian
disebut penduduk “Bali Aga”. Sekarang keberadaan mereka dapat dijumpai di
daerah Bali seperti di desa tenganan (Kab. Karangasem), tengangan
pengringsingan (Kab. Buleleng) dan masih banyak lagi yang lainnya, mereka
memiliki pakaian adat sendiri yang khas dimana bahan dan bentuknya sedikit
berbeda dengan pakaian adat Bali pada umumnya
7.
Kerajaan Pajajaran (10-16 M) di Jawa Barat
29 Sep
●̲̅̅ Latar Belakang Kerajaan Pajajaran (10-16 M) di Jawa Barat
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan
Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan
Pajajaran (Bogor)
di Jawa
Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda). Kata Pakuan sendiri berasal
dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada
kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan
bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923
oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di
kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.
●̲̅̅ Awal Pakuan Pajajaran
Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah.
Pemberontakan, saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi.
Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi
dari kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan,
Jawa Barat.
Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya.
Selain diterima dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan
Ratna Ayu Kirana salah seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ
saja, sang Raja juga menikah dengan salah satu keluarga pengungsi yang ada
dalam rombongan Raden Barinbin.
Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan
Sunda. Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati.
Aturan itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang
Sunda-Galuh dilarang menikah dengan keturunan dari Majapahit.
Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan.
Disebut besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari
Raja Susuktunggal.
Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan
keputusan: dua raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus
menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang ditunjuk.
Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu
Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata
menyatukan dua kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga
Maharaja mulai memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482.
Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan.
Awal “berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni
tahun 1482.
●̲̅̅ Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti,
naskah kuno, maupun catatan bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan
ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan
Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan
Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan
Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan
Carita Waruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak
peninggalan dari masa lalu, seperti:
●̲̅̅ Segi Geografis Kerajaan Pajajaran
Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh
Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota
Kerajaan Sunda disebut Dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari
perjalanan dari Kalapa (Jakarta).
●̲̅̅ Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD),
yaitu
●̲̅̅ Kondisi Politik (Politik-Pemerintahan)
Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke
8-16. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :
●̲̅̅ Daftar raja Pajajaran
- Sri
Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
- Surawisesa
(1521 – 1535), bertahta di Pakuan
- Ratu
Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
- Ratu
Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
- Ratu
Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan
anaknya, Maulana Yusuf
- Raga
Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
- Rahyang
Niskala Wastu Kencana
- Rahyang
Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
- Sri
Baduga MahaRaja
- Hyang
Wuni Sora
- Ratu
Samian (Prabu Surawisesa)
- dan
Prabu Ratu Dewata.
●̲̅̅ Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa
keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa
Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna,
senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat.
Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama
Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia
memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua
pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi
penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan
(asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan
(tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti
dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti
Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat
ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut
diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan;
membuat Talaga Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian,
kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur
pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan.
●̲̅̅ Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda
lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan
diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran
ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik
agar di Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan
menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut
perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana
tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten.
Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama
artinya dengan kata Sriman.
●̲̅̅ Kondisi Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama
perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan
perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan
Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk
(Pamanukan)
●̲̅̅ Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain
gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan
yang di anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)
●̲̅̅ Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu.
Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang
Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.
●̲̅̅ Kesimpulan
- Kerajaan Pajajaran adalah
nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa
Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
- Sumber
sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab
cerita, dan berita asing.
- Kerajaan
Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa
keemasan/ kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat
serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
8.
Kerajaan Tarumanegara
§ Kerajaan Tarumanegara diperkirakan terletak di daerah Bekasi atau Bogor,
Jawa Barat. Sumebr-sumber mengenai kerajaan tarumanegara antara lain:
·
Tujuh buah prasasti yang memakai huruf pallawa
dan bahasa sanskerta.
·
Prasasti Ciampea atau Ciaruten menyebutkan
tentang bekas dua kaki seperti kaki Dewa Wisnu ialah kaki yang Mulia
Purnawarman, raja dari negeri taruma.
·
Prasasti kebon kopi di kampung
Muara Hilir Cibungbulang yg menarik dari prasati ini adalah adanya dua tapak
kaki gajah yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata (gajah kendaraan
dewa wisnu).
·
Prasasti Koleangkak atau Prasasti jambu menyebutkan tentang kegagahan dan keperkasaan raja Purnawarman yang
mengenakan baju ziarah (varman).
·
Prasasti Pasir Awi dan Muara Ciatenprasasti yang berhuruf ikal ini sampai sekarang belum dapat dibaca.
·
Prasasti Cidanghiang atau Lebak di temukan tahun 1947 di daerah lebak, Munjul, Padeglang. Prasasti ini
menyebutkan tentang keperwiraan, keagungan, dan kebenaran dari Punawarman.
·
Prasasti Tugu di temukan
di desa Tugu di daerah Cilincing, jakarta. Prasasti ini merupakan prasasti
terpanjang. Isi prasasti ini menyebutkan tentang penggalian sungai Candrabhaga
oleh raja purnawarman. Penggalian tersebut dimaksudkan untuk menanggulangi
banjir, juga penggalian sungai gomati yang panjangnya 11 km serta selamatan
dimana raja menghadiahkan 1000 ekor sapi kepada brahmana.
·
Arca Rajasi yang mempunyai trinetra, jadi
merupakan area Syiwa.
·
Dua Arca Wisnu.
·
Berita dari Cina yaitu Fa-Hien (414 M), yang
memnyebutkan tentang banyaknya kaum Brahhmana. Di samping itu juga ada
berita-berita lain dari Cinta antara lain menybutkan nama Tolomo untuk menyebut
Taruma.
§ Kehidupan sosial kerajaan
Tarumanegara, dalam prasati Tugu disebutkan bahwa raja Purnawarman pernah
memimpin penggalian saluran Sungai Gomati untuk kepentingan sosial. Dilihat
dari cerita prasati Tugu ini, maka kehidupan kerajaan Tarumanegara memiliki
jiwa gotong royong yang sangat kuat. Sumber lainnya dari infomasi cina, yang
menjelaskan bahwa dikerajaan Tarumanegara memiliki sedikit penganut agama
budha. Jadi sebagian besar penganut agama hindu. Padahla kedua agama ini di
india saling bertentangan, tetapi pada kerajaan Tarumanegara kedua pemeluk
agama yang berbeda ini hidup saling berdampingan. Dengan demikian dapat
disimpulkan kerajaan Tarumanegara memiliki sikap toleransi dan hidup rukun yang
amat kuat.
§ Kehidupan ekonomi pada masa
kerajaan Tarumanegara yaitu bertahan
hidup dengan mata pencaharian sebagai berikut, berburu yang hasilnya untuk di
jual di cina, perikanan, pertambangan, perniagaan, pertanian, dan peternakan.
Maka hehidupan ekonomi kerajaan sangat makmur dan sejahtera.
§ Masyarakat kerajaan
Tarumanegara memiliki tiga ajaran agam, agama yang di anut adalah alsli (animisme-dinamisme), agama hindu, dan
agama budha, agam yang mayoritas paling banyak di peluk adalah agama hindu,
yang paling dominan adalah orang-orang kerajaan. Sedangkan agama budha dan asli
dipeluk pada masyarakat jelata. Dari penjelasan ini maka masyarakat
Tarumanegara dikenal Terbuka dan cepat beradaptasi dengan kebudayaan asing
terutama pad pengaruh hindu-budha dari India.